BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perbincangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sangat gencar dibicarakan. Hal ini berawal dari kuatnya paham liberalism yang dibawa-bawa oleh bangsa Barat. Kendati nilai-nilai HAM bersifat universal, namun beberapa hal masih menjadi perdebatan terkait dengan implementasi HAM tersebut. Salah satunya ialah hak untuk melangsungkan pernikahan dengan kondisi pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Secara sederhana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perkawinan atau pernikahan diartikan berdasarkan kata dasarnya menjadi melangsungkan pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Pengertian tersebut tidak menjadi masalah ketika tidak menyentuh landasan idealism, ketika seseorang atas dasar kepercayaannya tidak menjadikan suatu perkawinan itu dibolehkan atas dasar agama. Padahal, dalam konsep HAM yang diusung oleh Barat, seseorang tidak boleh dibedakan hanya karena landasan agamanya, termasuk untuk melangsungkan pernikahan. Konsep HAM ini kemudian sangat bertentangan dengan konsep HAM dalam Islam.
Dalam Islam, secara awam, membatasi boleh/tidaknya melakukan perkawinan beda agama dengan menyematkan sebutan kafir, dzimmi, maupun orang-orang musyrik pada orang mukmin. Hal yang demikian membuat tolak pikir umum, yakni haramnya perkawinan beda agama. Namun, dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia yang sebanyak 85% lebih penduduknya beragama Islam, menjadi dinamika sosial yang patut mendapat perhatian dalam kasus perkawinan beda agama. Indonesia memiliki keberagaman dari berbagai aspek tidak terkecuali agama yang menyebabkan adanya kemungkinan keberlangsungan pernikahan beda agama.
Pada tahun 1980, sebanyak 24.677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama. Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26.688 pasangan di Indonesia melakukan hal yang demikian. Pada tahun 2000, 2.673 pasangan didata sebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama. Kedati data tersebut menunjukkan penurunan, namun dalam interval sepuluh tahun, data selalu menunjukkan adanya pernikahan beda agama yang berlangsung. Sehingga penulis melakukan kesimpulan awal, bahwa di Indonesia yang merupakan negara penuh keragaman termasuk agama terdapat pernikahan beda agama, tak terkecuali di antara orang Islam sendiri dengan orang di luar Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama?
Apa penyebab terjadinya perkawinan beda agama?
Bagaimana status perkawinan agama di
mata hukum Indonesia?
Bagaimana implementasi ketaatan hukum mengenai pernikahan beda agama di Indonesia?
Bagaimana pandangan dan hukum Islam mengenai pernikahan beda agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui pengertian perkawinan beda agama.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perkawinan beda agama.
Mengetahui sah atau tidaknya perkawinan beda agama di mata hukum Indonesia.
Mengetahui implementasi ketaatan hukum mengenai pernikahan beda agama di Indonesia.
Mengetahui pandangan dan hukum Islam mengenai perkawinan beda agama
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Beda Agama
Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, di antara yang dinyatakan dalam perundangan dan sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari. Berikut adalah beberapa versi pengertian dari perkawinan beda agama.
2.1.1 Perkawinan Beda Agama
Menurut Empat Mazhab
Berdasarkan hukum Islam, hukum perkawinan seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non muslim, baik Ahl al-Kitab atau musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram dan tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan seorang laki-laki muslim dengan waita non muslim baik Ahl al-Kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan Ahl al-Kitab. Dalam pembahasan ini, penulis mencoba membahas tentang hukum perkawinan beda agama dari sudut pandang ulama empat mazhab, walaupun pada prinsipnya ulama empat mazhab ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi. Untuk lebih jelas, berikut pandangan keempat mazhab fikih tersebut mengenai perkawinan beda agama.
1. Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi memperbolehkan menikahi wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun Ahl al-Kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah Ahl al-Kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini, yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan Kitab yang pernah diturunkan Allah, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim AS dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada Nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanita tersebut boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini, mengawini wanita Ahl al-Kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja perkwinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah dan mengandung mafasid yang besar. Sedangkan perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita Ahl al-Kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat yaitu:
(1) nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (wanita-wanita non muslim yang berada di negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si istri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anak dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
(2) tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendekatan Sad al-Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul, maka diharamkan.
3. Mazhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab Syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita Ahl al-Kitab, dan yang termasuk golongan wanita Ahl-al Kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan uang dikemukakan mazhab ini adalah:
1) Karena Nabi Musa As dan Nabi Isa As hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2) Lafal min qoblikum (uma sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel. Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi Rasul, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Quran diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahl al-Kitab, karena tidak sesuai dengan ayat min qoblikum.
4. Mazhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini dalam menanggapi masalah perkawinan beda agama, banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Dan tidak membatasi bahwa yang termasuk Ahl al-Kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
2.1.2 Perkawinan Beda Agama
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sejak tahun 1974, bangsa Indonesia telah mempunyai Undang-Undang yang mengatur perkawinan dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Undang-undang yang mengatur masalah perkawinan tersebut adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun1997, diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu: “Ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedangkan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”. Ketegasan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Berdasarkan Undang-Undang di atas pihak yang akan melakukan perkawinan harus menganut agama yang sama, jika keduanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya mengikuti agama pihak lainnya itu.
Dengan demikian, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur serta tidak menjelaskan secara rinci tentang aturan perkawinan beda agama. Bila dilihat dari aturan agama masing-masing sesuai yang dimaksud oleh pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berarti perkawinan dapat dilangsungkan, bila para pihak (calon suami dan istri) menganut agama yang sama. Dari rumusan pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama. Bila ingin melangsungkan perkawinan, salah satu pihak harus menundukkan diri atau harus satu agama yang sama. Sehingga pelaksanaan perkawinan harus menggunakan tata cara perkawinan yang sama, misalnya menurut hukum Islam, Protestan, Katolik, dan seterusnya.
Bila dilihat dari aturan masing-masing agama, maka tiap-tiap agama memiliki aturan yang berbeda, umat Kristiani menganut pemahaman bahwa bila pria dan wanita imannya berbeda, maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan (haram). Berbeda dengan agama Islam, tidak serta merta melarang seorang muslimah menikah dengan pria non muslim, sebaliknya pria muslim (calon suami) tidak dilarang menikah dengan wanita Ahl al-Kitab (yahudi dan nasrani).
2.1.3 Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pada hakikatnya, sebagian hukum materiil dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia sudah dikodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dilaksanakan melalui peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang mengandung hukum materiil di bidang perkawinan. Akan tetapi, hal-hal yang ada di dalamnya berupa pokok-pokoknya saja, dan belum secara menyeluruh terjabarkan seperti yang diatur dalam Islam. Akibatnya para hakim yang memutus suatu perkara itu akhirnya merujuk kepada kitab-kitab fikih yang sesuai dengan mazhabnya, yang otomatis pemahaman terhadap kitab-kitab fikih itu berbeda-beda antara hakim yang satu dengan yang lainnya. Sebagai akibatnya, menghasilkan keputusan berbeda mengenai satu perkara, tetapi dengan adanya KHI, pendapat-pendapat dalam kitab-kitab fikih yang dirujuk oleh para hakim itu diunifikasi dan dikodifikasi, sehingga dalam mengambil suatu keputusam, para hakim akan merujuk pada KHI yang akan mengakibatkan adanya kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya putusan-putusan yang bercorak variable.
Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai larangan kawin beda agama, pencegahan perkawinan dan putusnya perkawinan yang pada dasarnya perkawinan antar seseorang yang menganut agama Islam dengan yang bukana Islam adalah tidak sah, sebagaimana dikemukakan dalam pasal-pasal berikut:
1) Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: “Dilarang melangsungkan perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita ..... yang tidak beragama Islam”.
2) Dan sebaliknya seorang wanita Islam dilarang kawin beda agama sebagaimana ditegaskan dalam bab yang sama Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
3) Kompilasi Hukum Islam juga mencegah perkawinan beda agama sebagaimana ditentukan dalam Bab X Tentang Pencegahan Perkawinan. Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa: “Tidak sekufu (sepadan) tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din”.
4) Setelah pernikahan terjadi apabila salah satu berpindah keyakinan agama atau dengan kata lain salah satu berpindah menganut agama di luar Islam, maka dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian. Pasal 116 huruf (k) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: “Perceraian dapat terjadi karena alasan... peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”.
2.2 Penyebab Terjadinya Perkawinan Beda Agama
Dalam perkembangannya, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya adalah perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. UU Perkawinan juga tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Di Indonesia, perkawinan beda agama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Kenyataan bahwa di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan budaya, sehingga pertukaran pemikiran antarbudaya dan agama menjadi keniscayaan.
b. Persoalan ekonomi terkadang juga menjadi penentu dalam memilih pasangan hidup, sehingga kadang persoalan agama terabaikan demi kepentingan ekonomi.
c. Keluarga bukan lagi sebagai penentu dalam memilih calon pasangan, karena adanya pandangan kebebasan memilih jalan hidup termasuk dalam hal memilih pasangan.
d. Era globalisasi menyebabkan semakin terbukanya perkawinan antar bangsa, suku, dan agama karena bukan hanya sekat bangsa dan negara yang dibuka oleh globalisasi namun hal agama pun menjadi sangat terbuka.
2.3 Status Perkawinan Beda Agama di Mata Hukum Indonesia
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjelaskan bahwa: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional (UU Perkawinan) adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha.
Kata ‘hukum masing-masing agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan ‘hukum agamanya masing-masing’ yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Dengan demikian, sahnya perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan,apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di Pengadilan atau Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah.
Disamping menentukan sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan juga mewajibkan mengenai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dan pencatatan perkawinan tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut PP Perkawinan) sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Jadi, bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Pasal 2 ayat (2) PP Perkawinan menegaskan bahwa: “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”
2.4 Implementasi Ketaatan terhadap Hukum mengenai Perkawinan Beda Agama
Pada kenyataannya, perkawinan beda agama di Indonesia masih banyak terjadi. Ini karena hal ini tidak dilarang secara tegas dan tertulis pada Undang-Undang Perkawinan itu sendiri, sehingga perkawinan beda agama masih dapat dilakukan. Selain UU Perkawinan, dasar hukum soal perkawinan beda agama juga mengacu pada UU Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999. Di sana disebutkan paling tidak ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi atau dikurangi oleh siapapun. Di antaranya adalah soal memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan.
Aktivis LSM Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish berpendapat aturan UU itu secara konstitusional menjamin tidak ada halangan bagi pasangan beda agama menikah. Sementara itu Ahmad menerangkan, selain dari perspektif legalitas hukum, dalam perspektif keagamaan, perkawinan beda agama mungkin dilaksanakan. Jadi menurutnya, meskipun pandangan mayoritas bahwa hampir semua agama melarang, berdasarkan riset yang ia lakukan pada 2005 dan 2010 bekerjasama dengan Komnas HAM, beberapa agama memberikan ruang bagi pernikahan beda agama melalui agamawan yang menafsirkan bahwa pernikahan beda agama bisa dilaksanakan.
2.5 Pandangan dan Hukum Islam mengenai Perkawinan Beda Agama
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik. Semua perangkat syari’ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam. Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itum Islam sama sekali tidak mentolerir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan orang musryik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
2.5.1 Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama
Dalam kerangka menjaga iman inilah, MUI mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama. Ini karena MUI sebagai lembaga keulamaan yang senantiasa berupaya menjaga umatnya agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan sehingga fatwa ini sebagai upaya preventif.
Namun berdasarkan dari berbagai pendapat lain di luar MUI, pendapat MUI sebenarnya memang bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan beda agama tidaklah mutlah akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini dua argumentasi ini akan disandingkan sebagai bahan analisis yang membantu menjernihkan kontroversi di tengah masyarakat, yakni antara yang pro dan kontra fatwa MUI.
Kaitannya dengan larangan pernikahan beda agama didasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 221. Dalam hal ini para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinah: 1)
Ayat tersebut memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada agama samawi. Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya mempunya kitab samawi adalah Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk musyrikin. Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Quran surat al-Maidah ayat 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar atas mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi. Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur’an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur’an diturunkan. Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini jelas tidak jelas tidak ada lagi.
Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar. Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin Affan, Hudzaifah, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain.
Dalam kitab I’anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah -tangga yang merupakan tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu yang mustahil. Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya untuk pindah ke agama lain.
Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama yang ada di Indonesia bisa masuk ahlu kitab? Untuk agama Hindu, Bidha, dan Konghucu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi, yang tentunya konsep ketuhanannya jauh berbeda. Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini unuk konteks Indonesia, sulit dlacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Budha, dan Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang ‘murtad’ dari Hindu, Budha, atau Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi menyatakan, boleh menikahi dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada sinyal kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah. Apakah hal ini mengahalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi.
Dari deskripsi di atas, maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehlan tetapi hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Namun bagaimana dengan pendapat MUI?
Dalam hal ini MUI berpendapat bahwa dengan mempertimbangkan adanya keresahan masyarakat maka pernikahan beda agama harus mendapatkan ketentuan hukum yang jelas dan tegas. Dengan mendasarkan pada berbagai ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi serta kaidah fiqhiyyah menolak kerusakan didahulukan daripada menarik maslahat MUI memutuskan:
a) Pernikahan beda agama adalah tidak sah dan haram,
b) Pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab berdasar qaul mu’tamad adalah tidak sah dan haram. Keputusan ini mempertimbangkan adanya pemikiran bahwa di masyarakat telah berkembang opini bahwa pernikahan pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dengan alasan maslahat dan hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan atau perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang, pria dan wanita yang saling berbeda agama atau keyakinan. Dalam Islam sendiri para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai hukum perkawinan beda agama. Hukum mengenai perkawinan di Indonesia pun tidak membahas secara tegas hukum perkawinan beda agama karena terbentur oleh hak asasi manusia. Hal ini makin membingungkan masyarakat, ditambah dengan faktor-faktor pendorong terjadinya perkawinan beda agama seperti keadaan masyarakat yang heterogan di Indonesia, faktor ekonomi, dan era globalisasi. Untuk itulah MUI mengeluarkan fatwa yang melarang dan mengharamkan perkawinan beda agama di Indonesia. Namun, nampaknya hal ini tidak begitu diketahui oleh masyarakat Indonesia karena angka pasangan yang melakukan perkawinan beda agama di Indonesia masih tinggi. Ditambah dengan penggencaran kesadaran mengenai hak asasi manusia, kini pendapat ulama sudah mulai tenggelam oleh suara media. Padahal ini bertujuan untuk mempertahankan iman sebagaimana seperti yang disebutkan pada surat Al-Baqarah ayat 221 bahwa budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnudin, 2015. Pandangan Perkawinan Beda Agama Antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam Vol.1/Desember/2015 (ISSN.2085-2487)
Marzha dkk. 2012. Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM. Khazanah Vol.6/No.1/Juni/2013
Mutakin, Ali. 2016. Implementasi Maqashid Al-Syari’ah dalam Putusan Bahts Al-Masa’il tentang Perkawinan Beda Agama. Kordinat Vol. XV/No.2/Oktober/2016
Ningsih, Ratna Jati. 2012. Perkawinan Beda Agama (Studi Analisis Pemikiran Quraish Shihab danlam Tafsir Al-Misbah). [Skripsi]. Surakarta (ID):Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta
Susanto, Hendri. 2006. Status Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 beserta Akibat Hukumnya. [Skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga
Komentar
Posting Komentar